Paradigma adalah cara pandang dalam mengatasi masalah dengan menggunakan pemahaman atau pemaknaan tertentu yang dijadikan pegangan bersama komunitas/masyarakat. Paradigma sangat penting untuk membangun alam pikir masyarakat. Agar tidak hanya mampu memahami masalah itu seperti apa, tapi juga bisa mengentaskannya.
Selama ini paradigma masyarakat terkait wabah Covid-19 tidaklah menetap. Masih terus mengalami pergeseran menyesuaikan keadaan. Di mana, dulu masyarakat sempat meremehkan virus corona. Kini mereka kerepotan. Dulu anggota komunitas tak peduli. Kini banyak yang cari informasi sana-sini. Lalu meng-update tiada henti.
Awalnya, dianggap cara terbaik mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2 menggunakan pendekatan social distancing. Terjemahannya kurang lebih “jarak sosial”. Yakni, strategi pengaturan interaksi pada publik untuk mempermudah dalam pencegahan, penghambatan, hingga pelacakan penyebaran virus mematikan.
Dalam praktiknya, social distancing dilakukan dengan cara menjaga jarak tanpa bersentuhan dengan siapapun. Saat bertatap muka antara satu orang dengan yang lain, jaraknya minimal 2 meter. Kegiatan apapun yang dimungkinkan sulit menjaga standar jarak tersebut maka harus dihindari. Seperti dugem, konser, olah raga, festival, dan lain-lain.
Tidak ke sekolah, kantor, kampus, maupun menggunakan transportasi umum juga merupakan bagian perilaku social distancing. Itu untuk menghindari perilaku berkerumun, keramaian, hingga temu komunitas. Dengan kata lain, kurangi mobilitas atau pergerakan yang dapat menciptakan suasana kerumunan.
Paradigma social distancing sekarang sudah dipandang tidak efektif lagi. Sebab diduga penyebaran Covid-19 tidak hanya melalui droplet (tetesan kecil). Yakni, sebuah cairan di hidung dan mulut yang keluar saat bersin, batuk, dan disentuh oleh jari. Kekhawatiran terbaru adalah penyebaran sudah melalui udara. Virus berterbangan lalu masuk mulut dan hidung.
Untuk itu paradigma baru harus digunakan. Salah satu yang ditawarkan ialah pendekatan physical distancing. Terjemahnya kurang lebih menjaga jarak fisik. Dengan demikian, individu tidak sekadar menjaga jarak saat bertemu tapi benar-benar tidak boleh bertatap muka. Semua komunikasi harus dilakukan melalui teknologi informasi.
Physical distancing diyakini cara terbaik saat ini untuk menanggulangi bencana wabah virus mematikan. Dengan cara merubah “kehidupan sosial” fisik manusia, sementara waktu diganti jadi “kehidupan sosial” digital (virtual). Interaksi sosial atau massal dilakukan di dunia maya. Diharapkan itu benar-benar akan memutus mata rantai penyebaran virus Corona.
Gampangnya, dengan paradigma physical distancing kebutuhan bersosialisasi masyarakat tetap terpenuhi. Walau itu hanya bersosialisasi di dunia maya. “Jarak fisik” boleh sangat jauh. Namun “jarak sosial” tetap dekat. Daripada jarak fisik begitu dekat tapi rasa curiga satu sama lain begitu kental. Was-was tertular maupun takut menularkan virus.