Jakarta, BeritaAntara.com — Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia merupakan penggiat Reforma Agraria telah diundang oleh bapak Presiden Joko widodo ke istana negara, jakarta Kamis, 3 Desember 2020.
Acara tersebut di jadiri oleh Ketua Umum DPP Gema Perhutanan Sosial Indonesia, Siti Fikriyah, bersama Konsorsium Pembaruan Agraria, Badan Registrasi Wilayah Adat, serta Serikat Petani Indonesia diundang dalam Rapat Internal Pembahasan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria bersama Presiden, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Staf Presiden dan Kapolri.
Pada pertemuan Sebelumnya sudah ada 10 orang penggiat yang sudah merepresentasikan isu reforma agraria, perhutanan sosial, papua, masyarakat adat, serta nelayan juga telah diundang oleh Presiden untuk memberikan masukan. Pada tanggal 23 november 2020 lalu.
Siti Fikriyah memaparkan sejumlah isu di antaranya mengenai UUCK, penyempurnaan Perpres 86 Tahun 2013 yang terkait gugus tugas reforma agraria, register adat, register adat papua, gambut, badan khusus reforma agraria yang dipimpin Presiden, reforma agraria dari kawasan hutan, nelayan, percepatan reforma agraria pada HGU terlantar dan HGU habis, evaluasi HGU PTPN yang berkonflik dan tidak produktif, serta percepatan perhutanan sosial.
Sebagai Informasi Siti Fakriyah melanjutkan Point-point usulan yang sudah terperinci di Gema Perhutanan Sosial Indonesia sbb:
Pertama, dimuatnya perhutanan sosial dalam pengaturan setingkat Undang-undang merupakan capaian dan penghormatan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat setelah 75 tahun Indonesia merdeka.
Kedua, Gema mengapresiasi alokasi Presiden untuk perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar di luar Jawa dan sekitar 1.127.073 hektar di Jawa-(data numerik-Planologi KLHK, 2017). Ditambah dengan alokasi reforma agraria 9 juta hektar, maka total alokasi tanah untuk rakyat yang dialokasikan Presiden kurang lebih 22,8 juta hektar. Angka tersebut menunjukkan komitmen Presiden.
Ketiga, Gema mengapresiasi perubahan pasal 18 UU No 41 Tahun 1999 pada UUCK. Perubahan pasal tersebut akan menjadi pintu bagi penyelesaian konflik tenurial pada kawasan hutan di Jawa, Lampung dan Bali. Khusus di Jawa, ada sekitar 113.000 permukiman rakyat dalam kawasan hutan di Jawa akan dapat diselesaikan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan tanpa proses tukar-menukar kawasan serta tanpa mekanisme ijin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Sebagai konsekwensinya Permen LHK No 64 Tahun 2019 harus diubah.
Keempat, Gema menyampaikan agar pemerintah mengevaluasi HGU PTPN yang terlantar, tidak produktif, dan sudah dikelola masyarakat. Gema memohon agar HGU perkebunan negara baik PTPN dan PDP (perusahaan daerah perkebunan) serta HGU swasta yang telah habis dan terlantar dievaluasi dan dapat diredistribusi kepada petani penggarap dengan hak milik bersama dan dikembangkan menjadi cluster pertanian terpadu.
Kelima, berkaitan dengan draft RPP di bidang agraria, Gema menyampaikan agar RPP disusun dengan nomeklatur yang langsung menunjuk pada percepatan pelaksanaan redistribusi tanah dan memuat klausul-klausul yang membebaskan belenggu atau sandera hukum yang menghambat redistribusi tanah kepada masyarakat.
Keenam, Gema menyampaikan bahwa RPP turun UUCK bidang agraria salah satunya mengenai penertiban tanah terlantar justru menempatkan kekuasaan besar kepada Menteri ATR untuk mendefinisikan tanah terlantar, mengambil tanah terlantar dan meredistribusikannya. Kekuasaan ini bisa membuka peluang praktek “abuse of power”. Seharusnya RPP ini memberikan rambu-rambu kategori pada jenis tanah terlantar, peruntukan, dan kriteria subjek penerimanya.
Ketujuh, Gema juga memberikan masukan bahwa RPP yang disusun kementerian-kementerian justru bergerak menguatkan kedudukan dan kewenangan kementerian. Hal ini akan menyebabkan ego sektoral makin menguat. Hal ini bertolak belakang dengan UUCK yang justru dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan-hambatan pada Kementerian-kementerian. Gema menyampaikan agar RPP ini menyederhanakan prosedur kementerian, memangkas hambatan antar kementerian dan mengembalikan kekuasaan kepada Presiden, utamanya memberikan kewenangan redistribusi tanah berada di tangan Presiden.
kedelapan, terkait RPP turunan UUCK di bidang Kehutanan, Gema menyampaikan apresiasi terhadap inisiatif Menteri LHK memuat pasal-pasal yang menjadi pintu penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan hutan dan percepatan pencapaian perhutanan sosial. Gema memberikan beberapa masukan terkait ketentuan mengenai Peta Indikatif Perhutanan Sosial (PIAPs) dan mengusulkan kategori Piaps tambahan berupa lahan konflik tenurial lahan garapan, lahan pengganti pinjam pakai kawasan hutan (tmkh), hutan di dalam kawasan desa atau permukiman, konflik pengelolaan lahan hutan, lahan inisiatif agroforestry rakyat, serta areal pemegang Sk IPHPS dan kemitraan Kulin NKK dan usulan areal IPHPS, kemitraan Kulin NKK, Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang telah berproses secara otomatis masuk dalam PIAPS.
Kesembilan, khusus berkaitan dengan perhutanan sosial di Jawa, Gema menyampaikan kekecewaan karena progres capaian IPHPS selama 2 tahun stagnan di angka kurang lebih 26.127 Hektar. Terdapat banyak usulan perhutanan sosial yang macet berproses selama 2 sampai 3 tahun. Kemacetan terjadi pada birokrasi teknis yaitu Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), sehingga Gema mengusulkan evaluasi Dirjen PSKL.
Kesepuluh, Gema meminta percepatan terbitnya SK Perhutanan Sosial, segera. Dari 63 usulan yang disampaikan kepada KLHK serta telah disampaikan kepada Presiden pada 10 Oktober 2019, baru 2 terbit SK.
Kesebelas, menyampaikan bahwa pengembangan ekonomi perhutanan sosial dapat dibina dengan kolaborasi Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Pertanian untuk penyediaan pupuk dan bibit serta Kementerian PU PR untuk penyediaan embung dan infrastuktur jalan produksi tani.
Keduabelas, Gema meminta Presiden mengkonsentrasikan target pencapaian perhutanan sosial dan penyelesaian konflik agraria sebelum 2024.
“Pernyataan ini merupakan catatan dari Gema Perhutanan sosial dan tidak merupakan representasi dari pandangan seluruh peserta rapat baik dari penggiat Reforma Agraria mau pun Presiden,” tutup Siti Fikriyah
Setelah pernytaan dari ketua GEMA PSI Tersebut Presiden meminta setiap kementerian menyempurnakan RPP berorientasi lapangan agar mampu menjawab masalah-masalah lapangan. Presiden juga meminta agar RPP tidak menguatkan sektoralisme Kementerian dan menghilangkan potensi abuse of power. Dan meminta agar dilakukan penyelesaian konflik agraria berdasar prioritas penyelesaian. Presiden juga memberikan sejumlah catatan penting terkait tindaklanjut penyelesaian konflik di kawasan hutan dan perkebunan, termasuk terhadap perkebunan negara.
Presiden akan menindaklanjuti dengan ratas beruntun untuk segera menyelesaikan persoalan reforma agraria dan perhutanan sosial serta masyarakat adat, termasuk pengembangan ekonomi perhutanan sosial, serta berkeinginan agar di 2021 dapat kembali menyerahkan redistribusi tanah untuk rakyat dan perhutanan sosial.
Terhadap pernyataan Presiden, Lebih lanjutnya Ketua Umum DPP Gema Perhutanan Sosial Indonesia, Siti Fikriyah pada pertemuan 23 November 2020 dan 3 Desember 2020 memberikan apresiasi kepada pemerintah terhadap masuknya perhutanan sosial di dalam UUCK yaitu pada perubahan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan ditambahkannya pasal 29A dan 29. dan bersedia untuk memberikan dukungan terhadap percepatan pelaksanaan reforma agraria-redistribusi tanah dan perhutanan sosial. (PUTRA | ADEL)