Jakarta, – Pemerintah dan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat memasukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan menjadi salah satu prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2016.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai, RUU tersebut sangat merugikan negara Indonesia.
“Ketika menerima salinan RUU Perkelapasawitan, kami menilai ini sebagai kejahatan sempurna. Bagaimana dalam RUU ini diatur korporasi kelapa sawit aman, sedangkan masyarakat Indonesia sendiri dirugikan,” kata Kepala Departemen Kajian Pembelaan dan Hukum WALHI, Zenzi Suhadi saat jumpa media pada Kamis (6/10) siang.
Setelah mempelajari pasal yang tertulis satu per satu, Zenzi menilai RUU ini mengandung kejahatan yang tidak bisa dijangkau oleh perangkat hukum Indonesia. Ia mengidentifikasikan ada empat poin yang sangat mencerminkan kejahatan.
Poin pertama, kata Zenzi, dalam RUU itu ada maksud untuk mengakui kelapa sawit sebagai kekayaan yang berasal dari Indonesia. Padahal tumbuhan itu bukan berasal dari dari Indonesia.
“Kalau dalam RUU disetujui bahwa kelapa sawit merupakan tumbuhan dari Indonesia maka koorporasi akan lepas dari UU Kehutanan yang bisa menjerat mereka,” kata Zenzi.
Poin kedua, RUU ini bisa mengisolasi rakyat yang tinggal di sekitar kawasan hutan kelapa sawit. Menurut Zenzi, dari hulu sampai hilir, RUU ini memfasilitasi kepentingan korporasi. Warga yang tadinya berperan sebagai pemilik lahan bisa beralih jadi pekerja korporasi yang mengambil lahan tersebut.
Ketiga, RUU ini membiarkan korporasi kelapa sawit kebal hukum. Mereka yang melanggar hukum berkaitan dengan lingkungan hidup tidak bisa dijerat.
“Pasal dalam RUU ini mengamputasi pasal di UU Perkebunan, Lingkungan, Pokok Agraria serta Kehutanan. Ketika disahkan, pelanggaran pidana dan perdata yang dilakukan korporasi tidak bisa dijerat,” kata Zenzi.
Berdasarkan data WALHI tahun 2015, kebakaran hutan yang terjadi di provinsi Riau, Jambi, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah disebabkan oleh 439 perusahaan. Sebanyak 308 perusahaan di antaranya adalah perusahaan kelapa sawit. Dari data itu terbukti bahwa kebanyakan kebakaran hutan disebabkan oleh perusahaan kelapa sawit.
“Pada tahun 2016 hanya empat perusahaaan yang terjerat hukum, satu perusahaan bebas dan tiga perusahaan kena hukuman ringan. Artinya hukum di Indonesia masih tumpul untuk perusahaan kelapa sawit. Apa lagi kalau RUU ini diresmikan,” kata Zenzi.
Kemudian poin keempat, secara perlahan RUU ini akan merugikan perekonomian negara. Pasalnya banyak perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang dimiliki perusahaan negara lain.
Berdasarkan situs forrestandfinance.org perusahaan kelapa sawit dari Malaysia merupakan pemegang saham kelapa sawit terbesar di dunia yang lahannya terletak di Indonesia. Diikuti dengan Amerika Serikat pada urutan kedua, Inggris pada urutan ketiga dan Singapura pada urutan keempat. Perusahaan kelapa sawit Indonesia sendiri berada di posisi 20.
“Artinya Indonesia menyiapkan diri untuk memfasilitasi kepentingan asing. RUU ini akan semakin membantu perusahaan asing. Padahal pemerintah selalu bilang ini untuk kesejahteraan rakyat,” kata Direktur Advokasi Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Edi Sutrisno.
Sejak direncanakan, RUU ini memang memdapat tanggapan negatif. Beberapa bulan lalu Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak dengan tegas RUU Perkelapasawitan.
Ketua SPI Henry Saragih mengatakan, dalam RUU itu tidak ada indikasi keberpihakan untuk kepentingan petani. Selain itu, selama ini sudah banyak UU dan peraturan-peraturan turunan yang secara eksplisit sudah mengatur perkelapasawitan.
Bertentangan
Menurut Edi, RUU Perkelapasawitan sangat bertentangan dengan keputusan Presiden Joko Widodo dalam moratorium.
Dalam moratorium tersebut diatur bagaimana agar perusahaan kelapa sawit bisa mematuhi aturan yang berlaku. Di antaranya adalah tidak ada lagi ekspansi lahan kelapa sawit dan penebangan liar untuk membuka lahan baru.
Sebaliknya, dalam RUU Perkelapasawitan diatur bagaimana perusahaan bisa melakukan ekspansi. Artinya, ada pertentangan antara keinginan DPR dan Presiden Jokowi.
“Ini perlawanan dari parlemen kepada presiden. Apalagi DPR menargetkan UU ini untuk terbit tahun 2017,” kata Edi.
Ia melanjutkan, Presiden Jokowi harus memberikan keputusan yang tegas sebelum RUU ini disahkan dan berdampak buruk.
“Kalau Jokowi tidak berani melawan RUU ini, artinya Jokowi takut dengan korporasi,” kata Edi.
sumber: cnnindonesia.com