Malang, BeritaAntara.com. – Hari hari ini kita di suguhi drama yang miris, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang tidak disertai penggeledahan pada waktunya , tidak saja menyimpang dari SOP, tapi membuka peluang hilangnya barang bukti, petunjuk, dan alat bukti lain.” Kata Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Ayudita Supriyanto Putri.
“Ini sama dengan memberi waktu pelaku kejahatan buat hilangkan jejak.”Tandas Dita.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) batal menggeledah dan menyegel salah satu ruangan di Kantor DPP PDIP, Kamis (9/1/2020) lalu. Penggeledahan akan dilakukan pekan depan, setelah penyidik mengantongi izin dari Dewan Pengawas KPK. Penggeledahan terkait kasus dugaan suap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan beberapa tersangka lain.
Terpilihnya Harun janggal karena dia ada di urutan kelima, sementara urutan kedua–yang sebenarnya paling berhak–adalah Riezky Aprilia. Harun kini juga sudah jadi tersangka dan kabur ke luar negeri. Banyak yang mengaitkan kasus ini dengan revisi UU KPK, termasuk Dita yang dikonfirmasi reporter BeritaAntara.com, Sabtu (18/1/2020).
Dalam UU KPK hasil revisi, penggeledahan hanya dapat dilakukan jika persetujuan dari Dewan Pengawas sudah dikantongi. Mekanisme ini terbukti membuat gerak KPK jadi birokratis. Menurutnya tak ada istilah lain yang paling tepat untuk menggambarkan mekanisme baru tersebut selain “pelemahan KPK.” Dan, katanya, “jalan keluarnya kembali ke undang-undang lama” atau Perppu yang diterbitkan Presiden Joko Widodo. Semuanya untuk “menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi,”.
Mahasiswi yang juga kader HMI (Himpunan Mahasiswa Islam ) ini juga mengatakan kasus ini membuktikan bahwa pernyataan pihak-pihak yang pro UU KPK direvisi tak terbukti sama sekali. Kasus ini membuktikan bahwa “revisi UU melemahkan KPK.
“KPK menjadi sulit dalam melakukan OTT atau bahkan bisa dikatakan KPK semakin mustahil untuk melakukan OTT.” Pungkas Dita. (DS)